Mari bersama membangun Indonesia dengan menjadikan sub-sektor perikanan budidaya sebagai pengggerak ekonomi lokal dan nasional,...



Thursday, July 29, 2010

CERITA SUKSES PEMBUDIDAYA RUMPUT LAUT DI KAB. ALOR


Ibu Sumiati mengangkat rumput laut. Warnanya putih bersih. Sesekali ia bersihkan dengan air tawar untuk menghilangkan bau kapur. Satu malam rumput laut itu direndam dalam air kapur. Untuk membersihkan garam sekaligus menghilangkan warna hijau rumput lautnya.

Ia hendak mempraktikan olahan rumput laut. Menjadi makanan olahan seperti dodol, kerupuk, manisan dan jus. Perempuan lain dari beberapa pulau di Alor ikut dalam workshop itu. Mereka hendak belajar dari olahan rumput laut dengan cara sederhana. Dan kelak pengetahuan ini bisa menambah nilai ekonomi bagi keluarga.

Rumput laut tumbuh baik di Alor. Lautnya masih bersih dan belum tercemar. Arus permukaannya tenang. Lokasi budidaya rumput laut ini tersebar di Pulau Marica, Kangge, Wollu, Mobobaa, Pante Deere, Kabir, Pantar dan beberapa tempat lainnya. Saat ini, rumput laut menjadi tulang panggung warga pesisir Alor. Selain mencari ikan laut atau membuat ikan kering. “Masyarakat sudah tahu keuntungan dari budidaya rumput laut ini. Masyarakat sedang bergairah,” kata Bupati Alor Ans Takalapeta.
Sepanjang 2008 harga rumput laut terus naik. Beranjak dari Rp 8 ribu dan berhenti pada titik puncak Rp 24 ribu tiap kilogramnya. Saat ini harga pasaran rumput laut stabil pada angka Rp 12 ribu tiap kilogramnya. Harga pasar yang menggoda ini membuat pemerintahan Alor terus menggenjot produksi rumput laut. Salahsatunya dengan menyediakan ketersediaan bibit rumput laut. Tak heran produksi panen rumput laut Alor bisa mencapai 200 ton tiap bulannya.

Dampak dari budidaya rumput laut ini membuat warga pesisir mengalami banyak perubahan. Mereka bisa memperbaiki rumah dan membiayai kebutuhan pendidikan keluarganya. Di Pulau Marica, misalnya. Kini banyak rumah warga sudah permanen. Tua muda, anak maupun orang tua ikut menjaga rumput lautnya. Membersihkan bibit, mengeringkan hasil panen sambil berkumpul di bawah Pohon Asam yang rindang.
Budidaya rumput laut tak makan banyak biaya. Juga teknologi yang rumit. Budidaya rumput laut hanya mengandalkan pada tali temali. Maupun dengan cara sistem lepas dasar. Rumput laut diikat dengan batu dan diletakkan pada dasar. Tehnik sederhana ini membuat warga tak mengalami banyak kesulitan untuk budidaya rumput laut. Petani hanya dituntut untuk rajin membersihkan tali temalinya dari jamur maupun lumut yang menempel. Namun mereka harus jeli dengan gangguan yang bisa mempengaruhi perkembangan rumput lautnya. “Bulu babi dan keguguran akibat panas. Produksinya bisa turun,” kata Marzuki, 35 tahun. Kulitnya gelap akibat terbakar matahari. Ia menanam rumput laut di Pulau Lapan. Setiap bulannya ia bisa memanem hasil rumput laut basah seberat 3 ton.

Petani rumput laut Alor juga mesti belajar dengan kasus yang menimpa Kojadoi di Maumere, Kabupaten Sikka. Budidaya rumput laut rusak akibat penggunaan Pupuk Green Tonic. Perkembangannya terganggu dan mengakibatkan budidayanya rontok. Pupuk ini malah mempercepat pertumbuhan lumut. Potensi pengembangan lahan budidaya rumput laut Alor diperkirakan bisa mencapai 3,5 juta hektar. Namun, saat ini area pemanfaatan hanya mencapai 177 hektar. Dengan produksi kering mencapai 4,3 ton.“Tapi mungkin produksinya tidak sebesar itu,” kata Anne B Lechat dari Forum Rumput Laut Alor atau ForLa Alor. Data ini merujuk pada hasil presentasi Provinsi Nusa Tenggara Timur tentang rumput laut pada saat pertemuan International Seaweed Forum atau ISF di Makassar.

Data dari Seaplant.net menunjukkan produksi rumput laut dari Indonesia terus meningkat. Dan mengalahkan produksi dari Filiphina yang sebelumnya merajai produksi rumput laut. Selain pada kuantitas, Indonesia juga harus mendongkrak kualitas dari produksi rumput lautnya. ISF meramalkan kebutuhan rumput laut ke depan tetap besar. Khususnya untuk kebutuhan karaginan. Namun krisis global perekonomian dunia saat ini berpengaruh besar terhadap permintaan akan rumput laut. Menurut ISF, kondisi ini mengakibatkan harga rumput laut tidak akan melewati angka Rp 15 ribu tiap kilogramnya. Beberapa industri besar ini antara lain FMC, CP Kelco, dan Cargill.
Forla dan pemerintahan Alor harus siap mengatasi pengaruh gelombang krisis global tersebut. Termasuk dengan petaninya yang mungkin tidak berpikir serumit itu. Kondisi ini akan memperberat beban pengembangan budidaya rumput laut di Alor. Hambatan ini menyangkut peningkatan kapasitas pengetahuan petani, akses informasi, jalur transportasi yang panjang, hingga pencarian pasar maupun investor baru.

Ibu Sumiati bersemangat pada akhir November 2008 itu. Ia dari Bali Barat bersama Ibu Hasanah dari Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir Taman Nasional Bali Barat. Ibu-ibu dari kepulauan Alor yang ikut acara itu serius mengikuti pelatihan. Mereka juga sering bergurau dan ketawa. Kini mereka sudah tahu dan mampu membuat olahan dari rumput laut. Kelak, bekal pengetahuan ini bisa membantu dan meringankan beban hidup mereka. Dan manfaat rumput laut pun bisa dinikmati secara sederhana pula.

No comments:

Post a Comment